TAFSIR KEBATINAN DALAM STUDI AL-QURAN
I. Pendahuluan
Perjalanan sejarah bangsa ini memang sudah sangat panjang dan berliku, mulai dari peradaban yang sangat ekstrim hingga ke modern, semua itu tidak lepas dari sejarah panjang masuknya Islam yang telah mewarnai bumi nusantara ini. Bila kita tengok ke belakang maka Islam agama yang bersifat universal tidaklah haram untuk ikut mewarnai sejarah bumi pertiwi ini karena Islam bersifat rahmatan lil alamin, sehingga datanglah para penyebar-penyebar ajaran Islam ke bumi Nusantara ini dengan misi suci.
Melalui perjalanan yang panjang pula para juru dakwah yang kebetulan juga saudagar mulai gigih menyebarkan ajarannya. Menurut babat tanah Jawa sekitar tahun 1400 M telah ada saudagar yang beragama Islam di pantai utara Pulau Jawa. Saudagar-saudagar berasal dari Gujarat dan
Pada tahun 1500 M maka Berdirilah kerajaan Islam pertama di Jawa atas dukungan daerah-daerah lain yang telah Islam pula seperti Jepara, Tuban, dan Gresik[3]. Kejatuhan Majapahit ini ada beberapa pendapat yang menyebabkan yaitu diperangi oleh Demak dan pendapat lain karena kelemahan ekonomi serta keruntuhan dalam negeri sendiri, pada masa transisi masyarakat Jawa dari Majapahit (Hindu) ke Demak (Islam) maka muncullah banyak persoalan baik kultur, budaya serta ideologi.
II. Latar Belakang Masalah
Adanya masa transisi masyarakat Jawa ini maka banyak persoalan-persoalan yang timbul semakin komplek, pada kultur masyarakat Hindu yang mengenal kasta maka dalam Islam itu dihapuskan begitu pun budaya-budaya Hindu yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Pada persoalan transisi agama inilah yang sangat mewarnai potret wajah Islam di dalam perjalanan sejarah
Ajaran Islam diterima masyarakat Jawa yang notabene masih memeluk Hindu dengan berbagai ragam dan corak penerimaan masing-masing, kalau kita bagi secara umum ada 3 yaitu:
1. Masyarakat Jawa yang menerima secara kaffah ajaran Islam dengan sepenuh hati dan jiwa dengan tunduk pada syariatnya. (Demak)
2. Masyarakat Jawa yang menolak total ajaran Islam tetapi tunduk dengan syariatnya di bawah Demak dan ini relatif sedikit.
3. Masyarakat Jawa yang menerima ajaran Islam dengan setengah-setengah, dengan cara pandang mereka yang masih berbau Hinduisme sehingga ada pencampuradukan ajaran Islam, dan inilah yang menjadi cikal bakal munculnya aliran kebatinan di Jawa.
Pada bab ini kita akan bahas apa itu kebatinan. Kata kebatinan berasal dari bahasa Arab “ba-tin” yang artinya: di dalam, bagian dalam. Dalam bahasa
1. Di dalam “Ensiklopedia Umum”
Kebatinan ialah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup.
2. Di dalam buku ‘Ensiklopedia Pendidikan” karya Prof. DR. Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, bahwa kebatinan adalah sumber rasa dan kemauan untuk mencapai kebenaran, kenyataan, kesempurnaan, dan kebahagiaan.[5]
III. Asal Mula Kebatinan dan Pengaruhnya di Indonesia
a) Menurut Prof. Rasjidi, dia mengemukakan hipotesis tentang asal mula perkataan kebatinan.[6]
Pertama : Kata “kebathinan” mungkin sebagai salinan daripada arti:
approfondissement de ia vie interiure (memperdalam hidup-innerlijke). Dengan begitu, maka istilah “kebatinan” itu baru, yakni suatu manifestasi daripada pengaruh”theosophie”.
Kedua : Kemungkinan kedua, ialah bahwa kata “kebatinan”
merupakan salinan daripada perkataan: “occultisme”, yakni yang tersembunyi dan rahasia, apalagi jika kita ingat bahwa banyak dari praktek kebatinan yang disebut ilmu ghaib.
Ketiga : Kemungkinan ketiga, ialah bahwa “kebatinan” merupakan
salinan yang wajar (letterlijk) daripada kata arab: BATHINIYAH.
Artinya: Nama Batiniya diambil dari “Batin”, yakni yang di dalam. Batiniya adalah orang-orang yang mencari arti yang dalam dan yang tersembunyi dalam kitab Suci: mereka tidak mengartikan kata-kata itu menurut bunyi hurufnya (letterlijk) akan tetapi memberi interprestasi. Interprestasi ini dalam bahasa arab dinamakan Ta’wil.
Nama Batiniya ini oleh penulis-penulis Arab dipakai untuk menunjukkan bermacam-macam secte yang hampir semuanya telah memainkan rol penting dalam sejarah. Yang terpenting di antara mereka adalah Khurramites, Karmatians, dan Ismailites. Pemakaian nama Batinnya juga diperluas sampai di luar kalangan Islam, termasuk dalam Batiniya Secte Mazdakites, suatu secte Manichaean yang didirikan oleh Mazdak yang hidup semasa pemerintahan raja Kobad anaknya raja Firoz. Shahrastany, pengarang masyhur, mengatakan bahwa orang Batiniya di Irak dinamakan Karamite. Nama Batinita juga dipakai untuk menunjukkan beberapa orang mistik. Jadi sesungguhnya tak ada sesuatu doctrine umum yang karenanya sesuatu kelompok dapat dinamakan Batiniya, tetapi tiap-tiap secte mempunyai doctrinenya sendiri. Tetapi pengarang Shahrastany, dalam menerangkan arti Batiniyah memberikan keterangan tentang sesuatu sistem yang banyak hubungannya dengan secte Ismailiyah. Ia mengatakan bahwa sistem Batiniya meminjam beberapa hal dari ahli-ahli filsafat. Di bawah ini adalah idée yang termasuk dalam Batiniya, yakni: tiap-tiap hal yang lahir, mempunyai segi-segi yang batin. Tiap-tiap wahyu (tanzil) mempunyai interprestasi (ta’wil).
b) Pengaruh kebatinan Timur Tengah ke Jawa sangat tidak lepas dari peranan tokoh Syekh Siti Jenar, lepas dari kontroversi fakta dan fiksi tokoh ini, bila kita lihat ajarannya Syeh Siti Jenar[7] maka ada benang merah tentang ajaran Syekh Siti Jenar dengan kebatinan di Timur Tengah. Berawal dari perjalanan Syekh Siti Jenar untuk menuntut ilmu ke negeri
Syekh Siti Jenar di Baghdad membaca dan mempelajari dengan baik beberapa tradisi sufi mulai dari:
- Al-Thawasinya Al-Hallaj (858 – 1922)
- Al-Bushtami (w. 074)
- Kitab Al Shidiq-nya Al Kharaj (w. 899)
- Kitab Al-Ta’aruf Al Kalabadzi (w. 995)
- Risalah-nya Al-Qusyairi (w. 1074)
- Futuhat Al-Makiyyah dan Fushush Al-Hikamnya Ibnu ‘Arabi (1165 – 1240)
- Ihya’ Ulum Al-Din dan Kitab-kitab Tasawuf Al-Ghazali (w. 1111)
- Dan Al-Jili (w. 1428)
Pada periode Al-Jili ini sangat dekat dengan periode masa Syekh Siti Jenar, karena pada saat Al-Jili meninggal Syekh Siti Jenar sudah berusia 2 tahun, maka pemikiran-pemikiran Al-Jili merupakan hal baru bagi komunitas Islam pada saat itu.[8]
Syekh Siti Jenar adalah yang pertama kali mengusung gagasan Al-Hallaj dan terutama Al-Jili, sedang para wali pada saat itu menyebarkan ajaran Islam syar’i madzhabi yang ketat.
Beberapa kitab dari Syekh Abdul Karim Al-Jili yang sangat terkesan bagi Syekh Siti Jenar dan nantinya akan mempengaruhi corak dakwahnya di Tanah Jawa antara lain: Kitab Haqiqat Al-Haqa’iq, Al-Manazil Al-Ilahiyyah, dan Al-Insan Al Kamil fi Ma’rifat Al Awakhiri wa Al-Awamil (manusia sempurna dalam pengetahuan tentang sesuatu yang pertama dan terakhir), di mana dalam menyebarkan ajarannya Syekh Siti Jenar mengemukakan pandangannya mengenai ilmu sangkan paran sebagai titik pangkal paham kemanunggalan dengan konsep-konsep, pamor, lumbuh, dan manunggal.[9]
Dalam teologi sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh faham-faham puncak mistik Al-Hallaj dan Al-Jili, di samping karena proses pencarian spiritualnya, yang memiliki ujung pemahaman yang mirip dengan – secara praktis/amali – Al-Hallaj dan secara filosofi mirip dengan Al-Jili dan Ibnu ‘Arabi. Dalam perjalanan ke Jawa Syekh Siti Jenar berhenti di daerah Ahmadabad Gujarat, di sana dia berkenalan dengan Syekh Abdul Ghafur al-Gujarati, yang merupakan anggota jamaah karamah al-auliya’ di mana aliran kelompok ini adalah syi’ah ismailiyyah.[10]
Syekh Siti Jenar cukup lama tinggal di
Derajat tertinggi bisa tercapai ketika manusia benar-benar lepas dari basyar (tubuh)-nya. Tak ada wirid dengan bilangan tertentu, jamaahnya selalu diingatkan untuk wajib mengingat Allah kapan pun, di manapun, sembari melakukan aktivitas apa saja. Tak ada desah napas tanpa menyebut asma Allah. Semua orang bebas untuk bertemu Allah, tanpa ada guru, kyai, atau mursyid.
Inti dari ajaran tarekat Al-Akmaliyah adalah pengetahuan tentang prinsip sangkan, paran, dan dumadi.
IV. Kesimpulan
Berkembangnya aliran kebatinan memang tidak lepas dari beberapa pengaruh baik internal maupun eksternal, pengaruh internal yaitu background masyarakat Jawa yang animisme dan dinamisme sehingga itu merupakan kultur dasar corak masyarakat
[1] Effendi, Zarkasi, Drs. 1977. Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan. Solo: Penerbit Yayasan Mardikintoko
[2] Ma’ruf Al Payamani. 1992. Islam dan Kebatinan. Solo: CV. Ramadhani.
[3] Effendi, Zarkasi, Drs. 1977. Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan. Solo: Penerbit Yayasan Mardikintoko
[4] M. Rasjidi,
[5] Ma’ruf Al Payamani. 1992. Islam dan Kebatinan. Solo: CV. Ramadhani.
[6] M. Rasjidi,
[7] Muhammad Sholihin. 2004. Sufisme Syech Siti Jenar.
[8] Ibid hal 45
[9] Ibid hal 46
[10] Ibid hal 53
[11] Ibid hal 235
[12] Ibid hal 235
Tidak ada komentar:
Posting Komentar