Selasa, 10 Juni 2008

sejarah masuknya faham kebatinan siti jennar


TAFSIR KEBATINAN DALAM STUDI AL-QURAN

I. Pendahuluan

Perjalanan sejarah bangsa ini memang sudah sangat panjang dan berliku, mulai dari peradaban yang sangat ekstrim hingga ke modern, semua itu tidak lepas dari sejarah panjang masuknya Islam yang telah mewarnai bumi nusantara ini. Bila kita tengok ke belakang maka Islam agama yang bersifat universal tidaklah haram untuk ikut mewarnai sejarah bumi pertiwi ini karena Islam bersifat rahmatan lil alamin, sehingga datanglah para penyebar-penyebar ajaran Islam ke bumi Nusantara ini dengan misi suci.

Melalui perjalanan yang panjang pula para juru dakwah yang kebetulan juga saudagar mulai gigih menyebarkan ajarannya. Menurut babat tanah Jawa sekitar tahun 1400 M telah ada saudagar yang beragama Islam di pantai utara Pulau Jawa. Saudagar-saudagar berasal dari Gujarat dan Persia, tetapi orang Jawa sendiri belum masuk Islam ketika itu[1]. Pada masa itu Majapahit adalah kerajaan yang terbesar dan mencapai puncak kejayaannya, tetapi Islam secara perlahan tapi pasti berkembang secara baik karena dikenal dengan santun dan halusnya para pemeluknya di samping kuat ekonominya, karena sebagian besar para pedagang. Pada akhir masa kejayaan Majapahit ada seorang Islam yang disebut putri Cempa (Ceumpa, bahasa Aceh) dan putri Cina[2]. Putri ini adalah istri atau bahkan permaisurinya salah seorang raja Majapahit yang kemudian setelah mengandung dihadiahkan kepada seorang adipatinya di Palembang, Arya Damar namanya. Putri ini melahirkan seorang anak lelaki yang bernama Raden Fatah, inilah kelak yang akan menjadi raja pertama Demak dengan gelar Syah Alam Akbar I.

Pada tahun 1500 M maka Berdirilah kerajaan Islam pertama di Jawa atas dukungan daerah-daerah lain yang telah Islam pula seperti Jepara, Tuban, dan Gresik[3]. Kejatuhan Majapahit ini ada beberapa pendapat yang menyebabkan yaitu diperangi oleh Demak dan pendapat lain karena kelemahan ekonomi serta keruntuhan dalam negeri sendiri, pada masa transisi masyarakat Jawa dari Majapahit (Hindu) ke Demak (Islam) maka muncullah banyak persoalan baik kultur, budaya serta ideologi.

II. Latar Belakang Masalah

Adanya masa transisi masyarakat Jawa ini maka banyak persoalan-persoalan yang timbul semakin komplek, pada kultur masyarakat Hindu yang mengenal kasta maka dalam Islam itu dihapuskan begitu pun budaya-budaya Hindu yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Pada persoalan transisi agama inilah yang sangat mewarnai potret wajah Islam di dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Ajaran Islam diterima masyarakat Jawa yang notabene masih memeluk Hindu dengan berbagai ragam dan corak penerimaan masing-masing, kalau kita bagi secara umum ada 3 yaitu:

1. Masyarakat Jawa yang menerima secara kaffah ajaran Islam dengan sepenuh hati dan jiwa dengan tunduk pada syariatnya. (Demak)

2. Masyarakat Jawa yang menolak total ajaran Islam tetapi tunduk dengan syariatnya di bawah Demak dan ini relatif sedikit.

3. Masyarakat Jawa yang menerima ajaran Islam dengan setengah-setengah, dengan cara pandang mereka yang masih berbau Hinduisme sehingga ada pencampuradukan ajaran Islam, dan inilah yang menjadi cikal bakal munculnya aliran kebatinan di Jawa.

Pada bab ini kita akan bahas apa itu kebatinan. Kata kebatinan berasal dari bahasa Arab “ba-tin” yang artinya: di dalam, bagian dalam. Dalam bahasa Indonesia mendapat imbuhan ke – an, jadi kebatinan, yang artinya bagian yang tertutup di dalam[4], ditinjau dari makna kebatinan mempunyai bermacam-macam pengertian:

1. Di dalam “Ensiklopedia Umum”

Kebatinan ialah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup.

2. Di dalam buku ‘Ensiklopedia Pendidikan” karya Prof. DR. Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, bahwa kebatinan adalah sumber rasa dan kemauan untuk mencapai kebenaran, kenyataan, kesempurnaan, dan kebahagiaan.[5]

III. Asal Mula Kebatinan dan Pengaruhnya di Indonesia

a) Menurut Prof. Rasjidi, dia mengemukakan hipotesis tentang asal mula perkataan kebatinan.[6]

Pertama : Kata “kebathinan” mungkin sebagai salinan daripada arti:

approfondissement de ia vie interiure (memperdalam hidup-innerlijke). Dengan begitu, maka istilah “kebatinan” itu baru, yakni suatu manifestasi daripada pengaruh”theosophie”.

Kedua : Kemungkinan kedua, ialah bahwa kata “kebatinan”

merupakan salinan daripada perkataan: “occultisme”, yakni yang tersembunyi dan rahasia, apalagi jika kita ingat bahwa banyak dari praktek kebatinan yang disebut ilmu ghaib.

Ketiga : Kemungkinan ketiga, ialah bahwa “kebatinan” merupakan

salinan yang wajar (letterlijk) daripada kata arab: BATHINIYAH.

Artinya: Nama Batiniya diambil dari “Batin”, yakni yang di dalam. Batiniya adalah orang-orang yang mencari arti yang dalam dan yang tersembunyi dalam kitab Suci: mereka tidak mengartikan kata-kata itu menurut bunyi hurufnya (letterlijk) akan tetapi memberi interprestasi. Interprestasi ini dalam bahasa arab dinamakan Ta’wil.

Nama Batiniya ini oleh penulis-penulis Arab dipakai untuk menunjukkan bermacam-macam secte yang hampir semuanya telah memainkan rol penting dalam sejarah. Yang terpenting di antara mereka adalah Khurramites, Karmatians, dan Ismailites. Pemakaian nama Batinnya juga diperluas sampai di luar kalangan Islam, termasuk dalam Batiniya Secte Mazdakites, suatu secte Manichaean yang didirikan oleh Mazdak yang hidup semasa pemerintahan raja Kobad anaknya raja Firoz. Shahrastany, pengarang masyhur, mengatakan bahwa orang Batiniya di Irak dinamakan Karamite. Nama Batinita juga dipakai untuk menunjukkan beberapa orang mistik. Jadi sesungguhnya tak ada sesuatu doctrine umum yang karenanya sesuatu kelompok dapat dinamakan Batiniya, tetapi tiap-tiap secte mempunyai doctrinenya sendiri. Tetapi pengarang Shahrastany, dalam menerangkan arti Batiniyah memberikan keterangan tentang sesuatu sistem yang banyak hubungannya dengan secte Ismailiyah. Ia mengatakan bahwa sistem Batiniya meminjam beberapa hal dari ahli-ahli filsafat. Di bawah ini adalah idée yang termasuk dalam Batiniya, yakni: tiap-tiap hal yang lahir, mempunyai segi-segi yang batin. Tiap-tiap wahyu (tanzil) mempunyai interprestasi (ta’wil).

b) Pengaruh kebatinan Timur Tengah ke Jawa sangat tidak lepas dari peranan tokoh Syekh Siti Jenar, lepas dari kontroversi fakta dan fiksi tokoh ini, bila kita lihat ajarannya Syeh Siti Jenar[7] maka ada benang merah tentang ajaran Syekh Siti Jenar dengan kebatinan di Timur Tengah. Berawal dari perjalanan Syekh Siti Jenar untuk menuntut ilmu ke negeri Baghdad.

Syekh Siti Jenar di Baghdad membaca dan mempelajari dengan baik beberapa tradisi sufi mulai dari:

- Al-Thawasinya Al-Hallaj (858 – 1922)

- Al-Bushtami (w. 074)

- Kitab Al Shidiq-nya Al Kharaj (w. 899)

- Kitab Al-Ta’aruf Al Kalabadzi (w. 995)

- Risalah-nya Al-Qusyairi (w. 1074)

- Futuhat Al-Makiyyah dan Fushush Al-Hikamnya Ibnu ‘Arabi (1165 – 1240)

- Ihya’ Ulum Al-Din dan Kitab-kitab Tasawuf Al-Ghazali (w. 1111)

- Dan Al-Jili (w. 1428)

Pada periode Al-Jili ini sangat dekat dengan periode masa Syekh Siti Jenar, karena pada saat Al-Jili meninggal Syekh Siti Jenar sudah berusia 2 tahun, maka pemikiran-pemikiran Al-Jili merupakan hal baru bagi komunitas Islam pada saat itu.[8]

Syekh Siti Jenar adalah yang pertama kali mengusung gagasan Al-Hallaj dan terutama Al-Jili, sedang para wali pada saat itu menyebarkan ajaran Islam syar’i madzhabi yang ketat.

Beberapa kitab dari Syekh Abdul Karim Al-Jili yang sangat terkesan bagi Syekh Siti Jenar dan nantinya akan mempengaruhi corak dakwahnya di Tanah Jawa antara lain: Kitab Haqiqat Al-Haqa’iq, Al-Manazil Al-Ilahiyyah, dan Al-Insan Al Kamil fi Ma’rifat Al Awakhiri wa Al-Awamil (manusia sempurna dalam pengetahuan tentang sesuatu yang pertama dan terakhir), di mana dalam menyebarkan ajarannya Syekh Siti Jenar mengemukakan pandangannya mengenai ilmu sangkan paran sebagai titik pangkal paham kemanunggalan dengan konsep-konsep, pamor, lumbuh, dan manunggal.[9]

Dalam teologi sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh faham-faham puncak mistik Al-Hallaj dan Al-Jili, di samping karena proses pencarian spiritualnya, yang memiliki ujung pemahaman yang mirip dengan – secara praktis/amali – Al-Hallaj dan secara filosofi mirip dengan Al-Jili dan Ibnu ‘Arabi. Dalam perjalanan ke Jawa Syekh Siti Jenar berhenti di daerah Ahmadabad Gujarat, di sana dia berkenalan dengan Syekh Abdul Ghafur al-Gujarati, yang merupakan anggota jamaah karamah al-auliya’ di mana aliran kelompok ini adalah syi’ah ismailiyyah.[10]

Syekh Siti Jenar cukup lama tinggal di Gujarat sehingga pada keilmuan dan pemikirannya sangat dipengaruhi oleh kelompok Syi’ah Ismailiyyah. Syekh Siti Jenar dalam menyebarkan faham dengan membuat ajaran tarekat Al-Akmaliyah[11] di mana prinsip utama ajaran ini ialah manunggaling kawula Gusti.

Derajat tertinggi bisa tercapai ketika manusia benar-benar lepas dari basyar (tubuh)-nya. Tak ada wirid dengan bilangan tertentu, jamaahnya selalu diingatkan untuk wajib mengingat Allah kapan pun, di manapun, sembari melakukan aktivitas apa saja. Tak ada desah napas tanpa menyebut asma Allah. Semua orang bebas untuk bertemu Allah, tanpa ada guru, kyai, atau mursyid.

Inti dari ajaran tarekat Al-Akmaliyah adalah pengetahuan tentang prinsip sangkan, paran, dan dumadi.

IV. Kesimpulan

Berkembangnya aliran kebatinan memang tidak lepas dari beberapa pengaruh baik internal maupun eksternal, pengaruh internal yaitu background masyarakat Jawa yang animisme dan dinamisme sehingga itu merupakan kultur dasar corak masyarakat IndonesiaCirebon, dan sebagainya.[12] terutama Jawa. Pengaruh eksternal masukan pemahaman dari luar (Timur Tengah) yang berkembang pula di negeri asalnya pada periode adanya wacana filosofi Yunani yang mempengaruhi pola pikir ilmuwan Islam, pada masa itu, pengaruh ini dibawa ke Indonesia (Jawa) oleh Syekh Siti Jenar atau tarekat Al-Akmaliyah ini sampai sekarang masih terdapat di wilayah Jawa, mereka tergabung dalam kelompok-kelompok kecil, di Nganjuk, Banyuwangi, Malang, Kediri, Madura, dan Tulung Agung. Juga di Yogyakarta, Klaten, Banten,



[1] Effendi, Zarkasi, Drs. 1977. Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan. Solo: Penerbit Yayasan Mardikintoko

[2] Ma’ruf Al Payamani. 1992. Islam dan Kebatinan. Solo: CV. Ramadhani.

[3] Effendi, Zarkasi, Drs. 1977. Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan. Solo: Penerbit Yayasan Mardikintoko

[4] M. Rasjidi, Prof. Dr. 1977. Islam dan Kebatinan. Jakarta: Bulan Bintang.

[5] Ma’ruf Al Payamani. 1992. Islam dan Kebatinan. Solo: CV. Ramadhani.

[6] M. Rasjidi, Prof. Dr. 1977. Islam dan Kebatinan. Jakarta: Bulan Bintang.

[7] Muhammad Sholihin. 2004. Sufisme Syech Siti Jenar. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

[8] Ibid hal 45

[9] Ibid hal 46

[10] Ibid hal 53

[11] Ibid hal 235

[12] Ibid hal 235

fenomena siti jenar dan al-Hallaj


ANTARA SYEKH SITI JENAR DAN AL-HALLAJ

A. PENDAHULUAN

Ada apa dengan cinta? Itu sebuah lagu yng sempat tenar beberapa tahun yang lalu. Tapi sekarang yang lagi tenar yaitu ada apa dengan syekh Siti Jenar{SSJ}? Kalau kita jalan-jalan ke toko buku yang lengkap dan besar seperti Gramedia atau yang lain, maka akan terpajang buku-buku yang membahas tentang tokoh SSJ, baik tentang asal-usulnya, ajaranya, maupun cerita-cerita mistik tentang SSJ.[1] Begitu banyak versi buku SSJ baik judul, model penulisannya [ada yang seperti novel[2] serta seperti karya ilmiah] maupun banyaknya para penulis maupun penelitinya. Menjadi sebuah tanda tanya besar dimana tokoh SSJ diangkat bahkan diblok up secara berlebihan, tidak sedikit pula tokoh-tokoh liberal ikut mengusung tokoh SSJ ini seperti Abdul Munir Mulkan[3], Ahmad Chozjim[4] (bahkan sampai menulis dua seri). juga pengarang lain yang terkenal juga dalam dunia buku terutama mistik jawa seperti Dr. Purwadi, M.Hum[5], Agus Sunyoto[6], Muhammad Sholihin, dan masih banyak lagi. Sebenarnya ada apa dibalik tokoh SSJ ini ? Setiap penulis mempunyai gaya dan corak dalam memahami tokoh ini, tetapi yang menarik yaitu bagaimana seorang intelek seperti Prof. Abdul Munir Mulkan dapat menulis tokoh SSJ dengan versi mistik. Ada beberapa paparannya tentang tokoh ini yang tidak bisa diterima dalam akal atau ilmiah tapi itu diangkatnya seperti bagaimana asal-usul SSJ, Abdul Munir Mulkan dalam bukunya pada hal 51 menulis bahwa asal-usul SSJ dari seekor cacing hasil dari kutukan bapaknya yang sakti mandraguna lalu dibebaskan oleh Sunan Bonang, lalu SSJ dapat merubah dirinya menjadi bencok putih(hal 53) dikarenakan keinginannya belajar kepada Sunan Giri, juga tentang cerita kematian SSJ ini dibungkus dengan cerita yang sangat mistik[7]. Yang lebih fatal dalam bukunya tersebut yaitu tuduhan terhadap Wali Songo yang sangat keji yaitu tuduhan adanya kepentingan politik Wali Songo untuk menyingkirkan SSJ karena di anggap menjadi ancaman sebagai ulama negara, juga tuduhan tetang menyembah jazad SSJ setelah melihat ada keajaiban pada jazadnya lalu mengganti jazadnya dengan seekor anjing yang korengngen, sungguh mustahil bagi Wali Songo melakukan perbuatan tersebut. Dalam beberapa versinya Ahmad Chozjim, Purwadi [yang katanya kaum intelek] juga tidak jauh berbeda, apalagi buku-buku SSJ yang beredar di Jawa Timuran akan lebih kental nuansa mistiknya dari pada ilmiahnya. Walau ada beberapa penulis seperti Muhammad Sholihin, menulis dalam versi yang agak ilmiah dan membantah hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi lepas dari beberapa versi tersebut SSJ merupakan tokoh yang kontroversial, bahkan keberadaanyapun menjadi perdebatan. Beberapa ahli sejarah menyakini bahwa tokoh SSJ ini fiksi belaka seperti pendapat Ahmad Mursidi[8] , dia mempunyai hipotesis bahwa kisah SSJ adalah kisah fiktif bernuansa perlawanan miring terhadap Islam sebagaimana kisah serat Darmogandul, serat Gatholoco, serat Wali Wolu Wolak Walik dan lain-lain. Dugaan Ahmad Mursidi dinyatakan sebagai berikut : “Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama hindu, Budha dan animisme yang melakukan terang-terangan. Mereka lalu membuat berbagai cerita simbolik, misalnya Gatholoco, Darmoghandul, Wali Wolu Wolak Walik, Syehk Bela Belu, dan yang paling terkenal Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat didomplengkan kepada salah satu anggota Wali Songo yang terkenal yaitu Sunan Kalijogo. Jadi SSJ sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformis, anti perubahan dari Hindu Budha Jawa ke Islam. Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap Islam. Dan hanya diambil potongan-potongan yang secara sepintas tampak tidak masuk akal”.

Ada juga yang menganalisa kemunculan tokoh ini karena ada rasa dendam dari orang Hindu-Budha karena berkembangnya Islam di tanah Jawa bahkan berdiri kerajaan Islam pengganti Majapait, lalu di imajenerkan dengan tokoh Al-Hallaj yang ada di Bagdad. Di sini penulis tidak akan menerangkan tentang tokoh SSJ secara mendetail[9], karena banyaknya literatur tentang SSJ dengan berbagai versi dan gaya penulisan serta misi apa yang dibawa kaum liberal kenapa tertarik dengan SSJ walau dengan sebuah cerita mistik, tetapi penulis akan mengungkap siapa itu Al-Hallaj ? Literatur tentang Al-Hallaj sangat jarang kita temui baik dikitab-kitab kuno maupun di toko buku, juga tokoh ini dianggap menjadi guru atau inspiratornya SSJ atau memang cerita Al-Hallaj ini imajenerkan dengan tokoh buatan di tanah Jawa yaitu SSJ. Lepas dari persoalan fakta atau fiksi SSJ tetapi ada kesamaan dalam ajarannya maupun nasibnya yaitu sama-sama divonis mati penguasa[10]. Sehingga dengan mengungkap siapa Al-Hallaj dapat membuka tabir misteri antara Syekh Siti Jenar dari Jawa dengan Manshur Al-Hallaj dari Baghdad.

B. LATAR BELAKANG MASALAH

1. Al-Hallaj [AH] dan tasawuf

Dunia tasawuf dalam ajaran Islam, selalu saja menarik perhatian para pengkaji agama, karena aliran mistis Islam ini {sebutan lain bagi tasawuf yang diberikan para orientalis barat} banyak sekali mengandung “kontroversial” yang tercemin baik secara ajaran maupun perilaku para penganutnya {sufi}. Apalagi jika ajaran ini ditinjau dari kacamata syari’at yang dianut kebanyakan umat Islam. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika berbagai kajian mengenai hal ini, sampai kini masih saja menjadi salah satu tema yang menghiasa berbagai majelis.

Secara etimologi kata tasawuf ini mengandung banyak pengertian. Diantaranya ada yang mengartikan sebagai “bulu yang sangat banyak” (at-tasawuf), ada pula yang mengartikan sebagai “barisan” (shaf). Selain dua arti tersebut ada juga yang mengartikan sebagai kesucian (shafa) dan sebagainya, yang masing-masing disandarkan pada dalil-dalil yang kuat[11]. Akan tetapi pada dasarnya adalah bahwa tasawuf merupakan sebuah aliran / ajaran yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dengan Tuhan[12]. Hubungan yang dimaksud dalam hal ini adalah hubungan yang penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada dihadirat Tuhannya. Kesadaran tersebut akan mengantarkan manusia menuju kontak komunikasi dan dialog antara Ruh manusia dengan Tuhannya dalam bentuk ittihad (penyatuan diri). Kebutuhan akan hal ini oleh para sufi memerlukan ritual-ritual khusus dengan melalui berbagai tahapan(maqam), karena dianggab bahwa ritual-ritual yang biasa diselenggarakan secara formal bagi mereka belum memenuhi kebutuhan spiritualnya.

Hal inilah yang menjadikan para pelaku tasawuf berbeda-beda dalam usaha pemenuhan dan juga pemaknaan dalam ritual khusus yang mereka lakukan tersebut, meski secara garis besar adalah sama. Sebut saja sebagai misal seperti al-Ghozali dengan ma’rifatnya, Rabiyah Al-Adawiyyah dengan mahabbahnya, Abu Yazid al-Bustamillah dengan fana dan baqonya, juga al-Hallaj dengan al-anfusiyah. Seperti telah disebutkan di atas, mesti dalam puncak petualangan mistiknya (maqom) mengalami berbagai penamaan, akan tetapi esensi dasar dari apa yang mereka ajarkan adalah penyatuan diri dengan Tuhan.

Disini penulis akan menerangkan secara singkat siapa itu al-Hallaj (AH) dan ajaran Ittihad dalam dunia tasawuf yang dia kembangkan dan diajarkan. Banyak hal yang bisa dipelajari dari paham ini, baik dari segi ajaran maupun para pelaku ajaran tersebut – Hallajian – yang banyak sekali mengundang perdebatan publik yang berpuncak pada berakhirnya hidup al-Hallaj ditiang gantungan oleh pemerintah pada waktu itu.

2. Siapa al-Hallaj (AH)

Al-Hallaj merupakan salah satu seorang pelaku tasawuf yang mungkin namannya termasuk dalam daftar sufi yang paling kontroversial diantara lainnya. Mulai dari kehidupanya, ajarannya bahkan sampai kematiannya[13]. Al-Hallaj lahir sekitar tahun 244 H/588 M dengan nama Abul Mughist al-Husayn bin Mansyur di Thir bagian distrik Bayda (Fars) Persia. Ayahnya seorang penyotir Wool (Hallaj), yang senang berimigrasi dari satu tempat ke tempat lain, terutama di daerah Arab. Karena senangnya berpindah-pindah mengikuti ayahnya ini, ia sering disebut sebagai seorang Ansharian (Yaman) yang telah ter-arab-isasi(mawali).

Sejak usia belia ia telah mengenal berbagai cabang pengajaran, hingga pada usia 16 tahun ia telah menyelesaikan pendidikanya dalam bidang tata bahasa, Qur’an dan tafsir sebagai murid Sahl ibn Abdullah Thustari (seorang tokoh sunni). Dua tahun kemudian ia meninggalkan Thurtar dan pergi ke Basyrah. Disana ia menikah dengan seorang wanita Basyrah bernama Ummul Husayn binti Abu Ya’qub Aqta’. Pada saat ini pula ia mulai menjalani hidup sebagai sufi dan berpetualangan keberbagai tempat serta berkunjung ke berbagai majelis termasuk majelis-majelis duniawi (abna al-dunya), hingga ia kembali ke Thustar dan mulai ceramah-ceramahnya di depan umum. Dalam ceramahnya ia banyak mengajarkan tentang suara-suara hati (tirai hati) yang harus disibakkan. Sejak saat itu ia sering disebut sebagai “penyingkap suara hati” (Hallaj al-Asrar) dan nama al-Hallaj sejal saat itu mulai melekat padanya.

Sekitar tahun 270 Hallaj pergi ke berbagai tempat (India, Khurasan, Mawarah, dan Thurkistan) untuk melaksanakan misi-misi sucinya. Dalam perjalanan ini pula, berbagai julukan sempat melekat padanya, diantaranya ; al-Mughit (sang penasehat) saat di India, al-Mukid (sang pemelihara) saat di Thurkestan dan Masin, dan al-Mumayyis (sang bijaksana) saat di khurasan, Abu Abdallah al-Zahid (Abu Abdallah sang asketis) saat ia di Fars dan Hallaj al-Asrar (penyingkap tirai hati ) saat di khurazistan.

Setelah kembali dari perjalanan ini ia kemudian melaksanakan haji yang ketiga kalinya dan mulai menyebarluaskan ajarannya. Mulai saat itu pula berbagi pertentangan mulai timbul secara terbuka yang dimulai dari Muhammad Ibn Dawud bersama para ulama lain termasuk para sufi lainya. Pertentangan ini pada akhirnya sampai pada khalifah al-Mu’tadid yang kemudian juga mengeluarkan fatwa larangan terhadap ajaran Hallaj. Bersamaan dengan berbagai tantangan ini, berbagai sebutan miring juga melekat padanya seperti ; dukun, orang gila, bahkan mertuannya (Aqta’) sempat menuduh bahwa ia membuat perjanjian-perjanjian magic dengan jin. Tetapi disisi lain masih ada juga sekelompok yang mengagumi dan memuji terhadap ketulusan dan ibadahnya. Berbagai pertentangan ini berakibat pada adanya penangkapan al-Hallaj oleh pemerintah saat itu, yang memberi kewenangan pada Nasr Qusyuri (salah seorang yang anti al-Hallaj) dan kemudian ia dimasukkan dalam penjara khusus.

3. Al-Hallaj dan konsep Ittihad

Pada tahun 292 H, Hallaj telah melaksanakan haji dan umrohnya yang ke tiga kalinya, ia kembali pada pengikutnya di Thustar (Baghdad). Pada saat itu juga ia melakukan suatu ritual aneh yaitu dengan membuat miniatur Ka’bah (tepatnya di Qoti’at al-Rabi’) dan merayakan sendiri segala aturan haji termasuk Ta’rif dan Ied al-Qurban. Kembalinya ia ke Baghdad ini berarti pula telah berakhirnya pengembaraan yang dilakukan selama ini. Sejak saat itu ia berkosentrasi dalam penyebaran ajaran tasawufnya pada penduduk Baghdad. Penyebaran ajaran ini menimbulkan berbagai kekacauan dikalangan masyarakat Baghdad.

Inti dari ajaran al-Hallaj adalah tentang perlunya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai salah satu jalan utama menuju ittihad (kefanaan)[14]. Hal ini seperti khotbah yang pernah ia sampaikan ;

Selamatkan aku dari Tuhan, wahai orang-orang muslim.......

Tuhan telah memberikan padamu darahku yang sah menurut hukum,

Cepat, Bunuhlah aku ;

Niscaya engkau menjadi pejuang dalam perang suci,

Dan aku seorang martir...........

Bunuhlah aku manusia terkutuk ini”

Dalam khotbah lanjutanya, Hallaj juga berseru pada Tuhan :

“ Ampunillah setiap manusia, tapi jangan engkau ampuni aku.........

Lakukan apapun yang engkau inginkan atasku”

Secara paradoksial, jelas dari gambaran khotbah diatas tersirat ajakan untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan sekaligus nilai-nilai kesucian ILLAHI meskipun harus menghancurkan diri demi kebaikan umat.

Secara sekilas ajaran ittihad al-Hallaj tidak jauh berbeda dengan umumnya para penganjur tasawuf, yaitu adanya pendekatan antara makhluk dengan Tuhanya. Dalam ajaran al-Hallaj dikenal bahwa Tuhan memiliki sifat Luhut dan Nasrut, demikian juga manusia. Manusia dapat menghilangkan sifat nasutnya (kemanusiaannya) apabila mampu mencapai kefanaan. Dengan hilangnya sifat kemanusiaan ini dikontrol oleh sifat luhut (ke-Tuhan-an) yang merupakan inti dari kehidupan[15].

Sedangkan fana itu sendiri secara garis besar bagi al-Hallaj mengandung 3 aspek :

1. Fana dalam semua keinginan jiwa

( Aku ingin untuk tidak mengingini)

2. Fana dalam fikiran, perasaan dan perbuatan dengan hanya tersimpul pada Allah

( Aku tidak ingin dari Tuhan kecuali Tuhan )

3. Fana dalam semua kekuatan pikiran dan kesadaran

( Maha suciaku, Mahasuci aku, Mahabesar aku ).

( Akulah Kebenaran ).

Pada saat Hallaj mengucapkan kalimat-kalimat diatas jelas sudah lepas dari kontrol kemanusiaannya. Ini merupakan puncak dari keagungan tertinggi yang diajarkan al-Hallaj[16]. Ana ‘I Haqq merupakan sebuah kalimat yang sangat lekat dalam diri al-Hallaj sampai sekarang ini. Kalimat itu pula yang memancing kemarahan besar umat Islam terutama kaum ulama sunni, pemerintah juga para sufi lainnya, karena dinilai telah meresahkan masyarakat yang akan menimbulkan perpecahan dan kekacauan pada agama dan negara hingga mengantarkannya kepenjara untuk kesekian kalinnya pada Dzulhijjah 309. Puncak dari kegoncangan ini pada tanggal 28 Dzulhijjah ketika terompet Nasir Hamid dibunyikan sebagai tanda eksekusi Hallaj akan dilaksanakan. Eksekusi ini dimulai dengan diseretnya al-Hallaj yang kemudian dipotong tangan dan kakinya dihadapan publik sehari sebelum kematiannya. Pagi setelah peristiwa tersebut tepat pada tanggal 29 Dzulhijjah 309 H, Nasir Hamid membacakan ketetapan hukuman mati terhadap al-Hallaj[17]. Pada saat Hallaj diseret turun dari tiang salib untuk dipenggal lehernya, ia sempat mengatakan sebuah pesan. Dengan suara lantang ia menyerukan kalimat ;

Yang tertinggi bagi sufi adalah kediriannya yang membawa kepada Dia yang tunggal.

Mereka yang tiada mempercayai hari akhir akan ketakutan karena kedatangannya.

Tapi mereka yang percaya akan hal ini menunggu dengan penuh cinta,

karena mengetahui bahwa Tuhan akan hadir.[18]

Setelah ia melontarkan kata-kata terakhirnya tersebut, kemudian eksekusi pemenggalan kepalanya dilakukan. Setelah dipenggal kepalanya kemudian jasadnya dibungkus dengan kulit permadani dan disiram dengan minyak lalu di bakar, sedangkan abu dari pembakaran tersebut diterbangkan di Ra’sal-Manara.

C. Analisa konsep ittihad al-Hallaj dan Teologi Sufi Syekh Siti jenar

Ana’I-haqq sebagai puncak kulminasi yang dialami al-Hallaj merupakan sebuah pengakuan yang tidak mudah diterima oleh akal umat muslim. al-Haqq sendiri mempunyai beragam makna, diantarannya, dapat dimaknakan sebagai Hak dalam arti tugas yang harus dilakukan. Kata ini, juga dapat bermakna sebuah kebenaran (realita). Akan tetapi dalam tradisi persia ( juga Turki dan Malaysia ), kata al-Haqq telah diasumsikan menjadi nama tuhan (Allah) bagi keseluruhan umat disana[19]. Dalam kamus bahasa Indonesia Hak juga diartikan sebagai kuasa atau mempunyai kuasa milik, dan disebutkan bahwa yang paling kuasa memiliki segala sesuatu adalah Allah.

Jadi pengakuan Ana’I Haqq menjadi sebuah pengakuan yang “aneh”, ketika kata tersebut dilekatkan pada diri sebuah makhluk/manusia (al-Hallaj), terutama ditengah-tengah umat Islam[20].

Jadi tidak mengherankan jika al-Hallaj menjadi sebuah obyek pertentangan kaum muslimin lainnya dan juga pemerintah, karena pelekatan diri pribadinnya terhadap keberadaan Tuhan (al Haqq) ini digunakan dihadapan publik. Perbedaan mendasar juga dinyatakan Hallaj dalam mengartikan al-Haqq dengan Haqiqa. Jika Haqq ia asumsikan sebagai nama Tuhan dalam artian hukum praktis, sedangkan Haqiqa sebagai sebuah kualitas abstrak tidak bisa diakses[21].

Dalam diri Hallaj, Haqq (kebenaran) dikaitkan dengan Universitalitas seruannya (kesatuan mistik) yaitu, bukan hanya berdasar kesetiaan dalam menerima apa yang ditentukan sebelumnya dari pengetahuan Illahiyah, tapi atas dasar perintah langsung dalam diri kita untuk berbuat baik. Pada akhirnya akan kembali pada umat dalam mengambil sudut pandang terhadap ajaran, dalam hal ini kata al-Haqq versi al-Hallaj. Tetapi yang menjadi catatan penting, perlu dicantumkan disini bahwa al-Hallaj secara pribadi dari beberapa anekdot yang ditulis oleh para murid dan para Hallajian adalah dia memiliki berbagai “keajaiban” serta ketulusan ilahiyah yang sangat tinggi. Akan tetapi dari ketulusan dan kenyakinan yang diajarkan tersebut lepas dari mana kita memandang telah menimbulkan berbagai kekacauan dan perpecahan yang hebat diantara umat muslim saat itu. Karya-karya al-Hallaj antara lain : Kitab al Shaihur fi Naqshid duhur, Kitab al-abad wa al-Mabud, Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun, Kitab huwa-huwa, Kitab Sirru al Alam wa al-Tauhid, Kitab al-Thawwasin al-azal.[22]

Bagaimana dengan teologi sufi Syekh Siti Jenar, ajaran SSJ yang terkenal dengan sebutan “ manunggaling kawulo gusti”, yang bersumbu pada sasahidan memiliki inti kalimat dua hal ; “ la ilaha illa Ana”, dan “ Ana al-Haqq”. Sekilas memang tampak sama dengan ittihad al-Hallaj, SSJ membaca dan mempelajari dengan baik tradisi sufi dari al-thawasinnya al-Hallaj, dan sebenarnya SSJ lah yang pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj ke tanah jawa. Sementara itu para wali yang lain (wali songo) mengajarkan Islam syar’I madzabi yang ketat, sebagian memang mengajarkan tasawuf namun tasawuf tarekati yang beralur pada paham imam Ghazali.

Dalam pemahaman dan pengalaman SSJ, dhamir (kata ganti) Ana, Anta, dan Huwa[23] itu juga dipancarkan kepada mahkluk termulia, yang dibekali roh al-Idhafi, yang didalamnya bersemayam Roh al-Haqq, dan di kedalamannnya Roh al-Haqq itulah tersembunyi khazanah pembedaharaan al-Haqq itu sendiri. Maka keluarlah dari lisan rohaninya ungkapan suci “ Ana al-Haqq”, atau juga “ laa ilaha illa Ana”[24]. Bahkan menurut SSJ tingkatan rohani tertinggi adalah ungkapan “Ana-al-Haqq”, dan bahkan lebih ringkas lagi “ Ana, Ana, Ana “. Itulah rahasia terdalam pengalaman SSJ yang di tuangkan dalam ajaran-ajarannya., dan pemahaman seperti itulah pula yang umumnya mendatangkan bencana kepada penyeru ajarannya, lalu yang mengantarkan SSJ ke Vonis Mati oleh pemerintah saat itu (Demak). Dalam catatan sastra suluk jawa, hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar yaitu ; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyf), dan Balal Mubarak.[25]

D. KESIMPULAN

1. Al-Hallaj adalah seorang sufi yang mempunyai nama lengkap Abu Mughist al-Hasayn bin Mansur al-Hallaj, ia dilahirkan di Persia pada tahun 244 H. cerita dan keberadaan al-Hallaj jelas dan dapat dilacak dalam catatan sejarah dengan jelas tanpa ada kontroversi. Bahkan ajaran-ajarannya hingga kini masih ada dan masih diikuti sebagian orang (Hallajian).

Syekh Siti Jenar (SSJ) dalam berbagai versi mempunyai nama yang berbeda, ia punya nama antara lain ; San Ali (nama kecil pemberian orang tua), Syekh Abdul Jalil ( nama di Malaka), Syekh Jabaranta (nama di Palembang), Syekh Lemah Abang ( gelar yang di berikan masyarakat lemah abang), dan Syekh Siti Jenar ( nama filosofis yang menggabarkan ajaran sangkan paran ). Ia dilahirkan sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M, di lingkungan Pakuwuan Caruban, sekarang terkenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon. Keberadaan SSJ masih menjadi perdebatan da kalangan ahli sejarah, ada yang menyebutkan bahwa tokoh ini fiksi atau buatan saja dan di imajenerkan dengan tokoh al-Hallaj di Baghdad (seperti yang di ungkapkan Ahmad Mursidi, dll ) dan ada yang menyatakan tokoh ini nyata dan ada dalam sejarah (seperti tokoh-tokoh yang disebutkan penulis diatas).

2. Pokok ajaran al-Hallaj adalah mengajak seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan menuju zat yang Maha Suci. Juga ia menganjurkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiyah meskipun harus berkorban jiwa raga demi kepentingan umat. Hallaj memandang bahwa tuhan memiliki sifat luhut (ketuhanaan) dan Nasut (kemanusian) sebagai manusia. Sedangkan manusia dapat mencapai luhut dan menghilangkan sifai nasutnya jika ia telah memperoleh kefanaan dalam berbagai hal. Seperti kecenderungannya dan keinginan, fikiran, khayalan, perasaan, perbuatan serta kekuatan pikiran dan kesadaran.

Pokok ajaran SSJ tidak jauh berbeda dengan ajaran al-Hallaj karena SSJ sangat mengusai tradisi sufinya al-Hallaj. Dan SSJ yang pertama mengusung gagasan al-Hallaj ke jawa. Secara garis besar SSJ mengajarkan ilmu Ma’rifat secara bertahab, terdiri dari lima pokok jika ingin menjadi manusia sempurna (al-Insan al-kamil) serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan.

1) Tahap pertama SSJ mengajarkan asal-usul manusia {ngilmu sangkan paran},

2) Tahap kedua SSJ mengajarkan yang berkaitan dengan kehidupan, khusus apa yang disebut sebagai pintu kehidupan,

3) Tahap ketiga SSJ mengajarkan tempat manusia berada ketika sudah hidup kekal dan abadi

4) Tahap keempat SSJ menunjukkan alam kematian yaitu yang sedang dialami dan dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara menghadapinya,

5) Tahap kelima SSJ mengajarkan tentang adanya Tuhan yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa sebagai pelabuhan akhir bagi kemanunggalan dan keabadian.



[1] Dalam bukunya karya muhammad sholikhin dengan judul sufisme syekh siti jenar, cetakan pertama, penerbit Narasi, Yogyakarta 2004, secara gamblang menerangkan mulai asal-usulnya SSJ hingga perjalanan mistiknya sampai ajaranya.

[2] Bentuk penulisan seperti novel ini banyak kita temui didaerah jawa timur, bahkan di toko buku kecil dipinggiran-pinggiran biasanya ada, seakan-akan cerita SSJ menjadi legenda di tanah Jawa. Salah satu contoh buku seperti itu ialah karya Abu Fajar Al-Qalami dengan judul legenda Siti Jenar diterbitkan oleh pustaka Media Surabaya.

[3] Abdul Munir Mulkan, Syekh Siti Jenar, cetakan pertama, penerbit yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta 1999

[4] Ahmad Chozjim, Syehkh Siti Jenar makna kematian, penerbit Serambi, Jakarta 2006

[5] Purwadi,Dr,M.Hum,Gerakan Spiritual Syekh Siti Jenar, penerbit Media Abadi, Yogyakarta 2004

[6] Agus Sunyoto ini menulis hingga 6 seri, dengan label novel sastra bernuansa sejarah dia menulis SSJ dengan sangat panjang dengan gaya seolah-olah ssj ini merupakan sejarah. Dengan judul Suluk Sang Pembaharu Syekh Siti Jenar, penerbit Pustaka Sastra (LKIS), Yogyakarta.

[7] Disini Abdul Munir Mulkan pada hal 178-179 menceritakan bagaimana jazad ssj berbau harum semerbak bunga bahkan jazadnya mengeluarkan cahaya terang benderang bagaikan bulan purnama,disertai pelangi yang melingkar memenuhi ruangan dalam masjid, mengalahkan penerangan lampu, ibarat suluh dimalam gelap.

[8] M. Hariwijaya, Islam Kejawen, cet 1, penerbit Gelombang Pasang, Yogyakarta 2004 h. 267

[9] penulis pernah memaparkan kisah perjalanan mistis ssj dalam makalah semester satu bidang studi Al Quran dengan judul Tafsir Kebatinan di Magister Studi Islam Program Kosentrasi Pemikiran dan Peradaban Universitas Muhammadyah Surakarta

[10] Muhammad Sholihin memaparkan tentang kesamaan Al-Hallaj[AH] dengan SSJ yaitu ajaran SSJ tarekat al-akmaliyyah subtansi ajaranya sudah pernah diajarkan secara terbuka oleh AH dalam bentuk tarekat al-anfusiyah, tetapi kesamaan ajaran ini sebatas pada kesamaan jenis ajaran wujudiyahnya.

[11] Lihat lebih lanjut pada Ali bin Usman al Hujwiry, Suwardjo dan Abdul Hadi W.M (penterjemah), Kasiful Mahjub, Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, Bandung: Mizan 1992

[12] H.A. Mustofa, Akhalq Tasawuf : Untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK, Bandung ; Pustaka Setia, 1997, h206.

[13] Bisa juga dilihat biografinya di bukunya Asrifin, S.Ag. Tokoh-Tokoh Sufi, penerbit Karya Utama, Surabaya, h.162

[14] Lihat lebih lanjut pada Dewi Candraningrum (penterjemah), Louis Massignon, Al-Hallaj ; Sang Sufi Syahid, penerbit Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta 2001, h.186

[15] H.A. Mustofa, Akhalq Tasawuf : Untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK, Bandung ; Pustaka Setia, 1997, h271-272

[16] Lihat lebih lanjut pada, Labib, MZ dan Farid Abdullah, Kisah kehidupan Para Sufi Terkemuka, Surabaya , Bintang Usaha Jaya, h.168-169. juga pada H.A. Mustofa, Akhalq Tasawuf : Untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK, Bandung ; Pustaka Setia, 1997, h271-272

[17] Pada teks ketetapan tersebut, pada akhir kalimatnya dicantumkan bahwa jika terdapat kesalahan pada keputusan ini, maka bunuhlah aku kemudian. Lihat lebih lanjut pada Dewi Candraningrum (penterjemah), Louis Massignon, Al-Hallaj ; Sang Sufi Syahid, penerbit Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta 2001, h.36

[18] Khotbah ini juga sebagai sebuah jawaban atas sebuah pertanyaan Abu Bakir Sibli yang sehari sebelum di adakan eksekusi sempat melontarkan dua pertanyaan pada Hallaj, yaitu:

a. Apakah sufisme itu ?

Hallaj menjawab bahwa sufisme merupakan derajat paling rendah yang dibutuhkan seseorang untuk mendapatkannya adalah seperti yang sekarang ini kau lihat.

b. Apakah derajat paling tinggi ?

Saai itu dijawab dengan : itu diluar jangkauanmu, tapi besok engkau akan lihat. Karena hal itu merupakan bagian dari misteri Tuhan yang telah aku saksikan dan tetap tiada terlihat olehmu.

Lihat pada, Louis Massignon, Op.Cit, h.15

[19] Ibid, h.203

[20] E. St. Harahap, Kamoes Bahasa Indonesia, G. Kolff & co.-Batavia, 1948, h.135.

[21] Louis Massignon, Op.Cit. h.206

[22] Labib, MZ & Farid Abdullah, Op.cit, h.169

[23] Penggunaan dalam perspektif filosofis

[24] Muhammad Sholihin, Op.Cit, h.90

[25] Ibid, h.46